Terlalu Bahagia Ternyata Berdampak Buruk!

Posted by Unknown on Saturday 16 September 2017

ArtikelViral - “Too much of something is bad enough” demikian yang terlontar dari group musik yang berjaya pada era 90-an, Spice Girls. Aneka hal di dunia ini memang baik jika dikecap atau dilakukan secara berimbang.


 Namun malangnya, tak semua orang mengamini petuah tadi. Banyak orang yang menginginkan kebahagiaan sebagai gong perjalanan hidup. Tak sedikit orang yang memakai kacamata kuda ketika mengejar sesuatu yang mereka anggap bisa memuaskannya. Ketika hal tersebut tercapai, tidak jarang ia merasakan emosi positif yang membuncah sampai-sampai mengarah pada destruksi untuk diri sendiri. Tidak cuma itu, ledakan kebahagiaan bisa jadi merupakan gejala patologi.

 June Gruber, Ph.D., asisten profesor Psikologi dari Yale University, menulis di Greater Good Magazine sejumlah mudarat yang dapat terjadi ketika seseorang merasakan kebahagiaan yang berlebihan. Dalam kadar yang wajar, kebahagiaan memang memompa kreativitas. Namun, saat kebahagiaan yang dirasakan tidak terkontrol, hal tersebut justru membuat seseorang kesulitan menyalurkan kreativitasnya. June Gruber, Ph.D. mengambil kasus khusus seperti mania.

 Dalam website Psych Central, mania atau manic episode dideskripsikan sebagai kondisi ketika seseorang mengalami hilangnya keinginan tidur, munculnya terlalu banyak pikiran dalam sekejap, dan kesulitan untuk  fokus. Orang dalam keadaan mania juga mengalami peningkatan aktivitas berlandaskan gol dan sering melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan di luar kebiasaan sehari-harinya.

 Saat suasana hati lumayan cukup baik, lalu ia mempunyai kecenderungan untuk membuat berbagai proyek akibat adanya luapan ide di kepala. Dan malangnya, hal ini tak melulu disertai perencanaan yang baik untuk mewujudkannya. Ia bisa juga menghabiskan sepanjang hari tanpa beristirahat sedikit pun untuk menyelesaikan proyek-proyek tersebut. Tidak hanya lelah mental, kondisi fisikpun akan melemah karena aktivitas ekstrem seperti ini. 


 June Gruber, Ph.D  juga memaparkan, saat kesemangatan orang bahagia begitu menggebu, ia berpotensi untuk melakukan hal-hal berisiko yang tinggi. Konsumsi alkohol, narkotika, makanan, serta aktivitas seksual berlebihan adalah segelintir hal berisiko yang potensial dilakukan. Begitu pun aktivitas berbelanja tanpa rem yang membuat jebol dompetnya.

 Bahkan, dalam studi yang dilakukan Howard S. Friedman dkk, ditemukannya resiko kematian lebih tinggi pada anak-anak usia sekolah yang tampak bahagia berlebihan. Ini dimungkinkan oleh prilaku mengambil resiko yang tinggi yang sejalan dengan argumen Gruber.  

 Seiring dengan pendapat bahwa kebahagiaan berlebih mampu menurunkan level kreativitas, June Gruber, Ph.D melihat hal ini dapat berdampak terhadap kehidupan dan karier seseorang. Ketika merasa dirinya sudah memenuhi target tertentu, ia akan merasa malas untuk mengembangkan diri di tempat kerja. Keinginan untuk berkompetisi dengan rekan kerja lainnya pun berkurang.

 Serangkaian studi terkait dengan efek buruk karena terlalu bahagia di kantor pun pernah dilansir Time. Chak Fu Lam dari Suffolk University menyatakan bahwa emosi positif yang sedang dialami seseorang membuat ia merasa tak perlu berinisiatif dan proaktif ketika bekerja.

 “Para pekerja berperforma rendah sering kali mengambil pekerjaan paling mudah karena manajer mereka tidak meminta macam-macam kepadanya” ungkap Mark Murphy, CEO Leadership IQ. Selama dapat bersenang-senang di kantor, orang-orang macam ini cenderung tidak ambil pusing apakah mereka sudah cukup menorehkan prestasi di perusahaan atau mengembangkan aneka kemampuan yang bermanfaat bagi diri sendiri kelak.

Sumber Berita: tirto.id

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment